Nama
: Herdiansyah Agus
Nim : 1103805
Kelas
: PKO B 2011
UTS
Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pancasila sebagai
ideologi terbuka
Maksudnya
pancasila memiliki nilai dasar dan nilai operasional. Nilai dasar pancasila
adalah kelima sila. Yang mana nilai
dasar ini tidak dapat berubah. Namun pancasila memiliki nilai-nilai operasional
yang mana dapat berubah sesuai dengan kebutuhan bangsa dan Negara.
Nilai-nilai
operasioanl inilah yang membuat pancasila menjadi ideologi yang terbuka. Yang
mana pancasila merupakan ideologi yang dapat menyesuaikan diri dengan zaman,
luwes, dan fleksibel. Nilai-nilai pancasila dapat dikembangkan sesuai dengan
perkembangan zaman, dinamika kehidupan bangsa, dan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Yang dikembangkan dalam ideologi pancasila yang terbuka adalah
nilai-nilai operasinalnya. Dan tidak dapat merubah nila-nilai dasarnya (kelima
sila).
Beberapa
alasan dibentuknya pancasila sebagai ideologi terbuka adalah :
-
Dinamika masyarakat yang berkembang
begitu cepat
-
Bangkrutnya beberpa ideologi tetutup
(marksisme, leninisme, komunisme)
-
Tekad menjadikan pancasila sebagai
satu-satunya asas Negara Indonesia
Yang
dimaksud dengan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila
merupakan ideologi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembagan jaman tanpa
pengubahan nilai pada dasarnya bukan berarti bahwa nilai dasar Pancasila
dapat diubah dengan nilai dasar yang lain yang sama artinya dengan meniadakan
Pancasila atau meniadakan identitas/jati diri bangsa Indonesia (AL Marsudi,
2000:62).
2. Filasafat
pancasila.
Filsafat berasal dari
bahasa Yunani “ philosophos”. “Philos” atau “philein” berarti “mencintai”. Sedangkan “sophos” berarti “ kebijaksanaan “. Maka filsafat merupakan
upaya manusia untuk memenuhi hasratnya demi kecintaannya akan kebijaksanaan. Kata “kebijaksanaan” mempunyai
arti yang bermacam-macam yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya. Satu pendapat mengartikan kebijaksanaan dalam konteks luas. Yaitu melibatkan
kemampuan untuk memperoleh pengertian tentang pengalaman hidup sebagai suatu
keseluruhan. Penekanannya pada
kemampuan untuk mewujudkan pengetahuan itu dalam praktik kehidupan yang nyata.
Ada yang mengartikan filsafat dalam arti sempit yakni sebagai
“pengetahuan” atau “pengertian” saja.
Namun
tetap berfilasafat adalah upaya manusia untuk mencari kebenaran secara
mengakar, mendalam, dan menyeluruh.
Pancasila yang dibahas
secara filosofis adalah Pancasila yang butir-butirnya termuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang tertulis dalam alinia ke empat. Dijelaskan bahwa
Negara Indonesia didasarkan atas Pancasila. Pernyataan tersebut menegaskan
hubungan yang erat antara eksistensi negara Indonesia dengan Pancasila. Lahir,
tumbuh, dan
berkembangnya negara Indonesia ditumpukan pada Pancasila sebagai dasarnya. Secara
filosofis ini dapat diinterpretasikan sebagai pernyataan mengenai kedudukan
Pancasila sebagai jati diri bangsa.
Melihat dari
beragamnya kebudayaan yang terdapat dalam bangsa Indonesia maka proses
kesinambungan dari kehidupan bangsa merupakan tantangan yang besar. Demi
perkembangan kebudayaan Indonesia selanjutnya dituntut adanya rumusan yang
jelas yang mampu berperan sebagai pemersatu bangsa sehingga ciri khas
bangsa Indonesia menjadi nyata.
Untuk itulah dibentuk pancasila sebagai dasar negara.
Jadi Pancasila
mengarahkan seluruh kehidupan bersama bangsa, pergaulannya dengan bangsa-bangsa, lain dan seluruh
perkembangan bangsa Indonesia dari waktu kewaktu.
3. Identitas Nasional
Indonesia
Kata identitas dapat
diartikan sebagai ciri khas yang menandai tentang sesuatu. Sedangkan nasional
berarti memiliki sifat kebangsaan. Identitas Nasional berarti ciri khas yang
menandai keberadaan suatu bangsa.
Setiap bangsa yang menegara (nation
state) memiliki identitas nasionalnya sendiri-sendiri yang berbeda dengan
identitas nasional bangsa lain. Begitupun
Negara Indonesia yang memiliki identitas nasional tersendiri yang unik dan
berbeda bangsa-bangsa lain.
Bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang pernah menjadi bangsa terjajah. Sejarah panjang
penjajahan ini telah menumbuhkan rasa kebangsaan (nasionalisme) yang membedakan
wujud identitas bangsa Indonesia dengan bangsa lain di dunia.
Wujud identitas nasional bangsa
Indonesia berupa lambang atau simbol kenegaraan yang sudah diterima dalam
kehidupan negara Indonesia. Identitas nasional misalnya berupa bahasa Indonesia, bendera negara,
lagu kebangsaan, lambang negara, dan Pancasila sebagai dasar negara.
Perwujudan
pancasila sebagai identitas Negara :
-
Pancasila
ideologi di bidang politik melahirkan demokrasi pancasila
-
Pancasila
ideologi di bidang ekonomi melahirkan ekonomi kerakyatan
-
Pancasila
ideologi di bidang sosial melahirkan masyarakat madani
-
Pancasila ideologi
di bidang budaya melahirkan peradaban pancasila
-
Pancasila
ideologi di bidang hukum melahirkan
-
Pancasila
ideologi di bidang ketahanan melahirkan hankam rata (pertahanan keamanan rakyat
semesta)
4.
Dinamika UUD NRI 1945
-
UUD 1945
tahun 1945
-
Amandemen
pertama tahun 1999
-
Amandemen
kedua tahun 2000
-
Amandemen
ketiga tahun 2001
-
Amandemen
keempat tahun 2002
Latar
belakang dilakukannya amandmen terhadap UUD 1945 :
-
Kekuatan
tertinggi MPR
-
Kekuasaaan
yang sangat besar pada presiden
-
Pasal-pasal
yang terlalu “luwes” yang mengakibatkan multi tafsir
-
Kewenangan
presiden untuk mengatur hal-hal penting melalui UU
Tuntutan
reformasi :
-
Amandemen
UUD 1945
-
Penghapusan
doktrin dwi fungsi ABRI
-
Penegakan
hokum, ham, dan pemberantasan KKN
-
Otonomi
daerah
-
Kebebasan
pers
-
Mewujudkan
kehidupan demokrasi
UUD
sebelum diamandemen :
·
Pembukaan
·
Batang
tubuh :
-
16 bab
-
37 pasal
-
49 ayat
-
4 pasal aturan tambahan
-
2 ayat
aturan tambahan
·
Penjelasan
UUD
setelah diamandemen :
·
Pembukaan
·
Pasal-pasal
-
21 bab
-
73 pasal
-
170 ayat
-
3 pasal
aturan peralihan
Perubahan
Ketentuan Tentang Kedudukan DPR RI Pasal 19 UUD.
Perubahan Pasal 19 menggambarkan penegasan bahwa semua Anggota DPR
harus dipilih
Perubahan Ketentuan tentang Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang Pasal 20 UUD 1945
Perubahan Pasal 20 UUD 1945 bermakna:
Perubahan Pasal 20 UUD 1945 bermakna:
1. Penegasan
mengenai kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR RI. Perubahan
Pasal ini sejalan dengan perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang semula
berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Penegasan
bahwa pembahasan RUU yang dilaksanakan dalam beberapa tahap di DPR RI dilakukan
bersama. Ketentuan ini mengandung makna bahwa tidak dibenarkan apabila suatu
RUU sudah mendapatkan persetujuan dalam rapat
Penambahan
Pasal 20A Ketentuan tentang Kedudukan DPR RI
Paripurna DPR RI, Presiden tidak menandatangani pengesahannya, karena sesungguhnya Presiden telah menugaskan Menteri untuk mewakilinya dalam pembahasan RUU di DPR. Penegasan ini dilanjutkan pula dengan ketentuan bahwa apabila dalam jangka waktu 30 hari semenjak RUU disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang.
Pasal ini merupakan penambahan materi baru. Penambahan pasal baru ini untuk memperkuat dan mempertegas tugas-tugas serta hak-hak konstitusional lembaga dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penambahan Pasal 20A ini, tidak saja menyangkut reposisi fungsi legislasi DPR RI, tetapi juga memperkuat pengaturan mengenai hak-hak Dewan dalam melaksanakan ketiga fungsinya, terutama dalam rangka fungsi pengawasan. Ketentuan ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memperkuat posisi tawar DPR RI dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena sebelumnya terkesan DPR RI hanya sebagai pelengkap saja, yang selalu mengikuti apa yang menjadi keinginan dari Pemerintah, yang sering dikenal sebagai tukang stempel saja terhadap kebijakan publik yang dirumuskan oleh Pemerintah. Pada saat itu, Pemerintah merasa yang memahami aspirasi dan kepentingan rakyat,
Paripurna DPR RI, Presiden tidak menandatangani pengesahannya, karena sesungguhnya Presiden telah menugaskan Menteri untuk mewakilinya dalam pembahasan RUU di DPR. Penegasan ini dilanjutkan pula dengan ketentuan bahwa apabila dalam jangka waktu 30 hari semenjak RUU disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang.
Pasal ini merupakan penambahan materi baru. Penambahan pasal baru ini untuk memperkuat dan mempertegas tugas-tugas serta hak-hak konstitusional lembaga dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penambahan Pasal 20A ini, tidak saja menyangkut reposisi fungsi legislasi DPR RI, tetapi juga memperkuat pengaturan mengenai hak-hak Dewan dalam melaksanakan ketiga fungsinya, terutama dalam rangka fungsi pengawasan. Ketentuan ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memperkuat posisi tawar DPR RI dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena sebelumnya terkesan DPR RI hanya sebagai pelengkap saja, yang selalu mengikuti apa yang menjadi keinginan dari Pemerintah, yang sering dikenal sebagai tukang stempel saja terhadap kebijakan publik yang dirumuskan oleh Pemerintah. Pada saat itu, Pemerintah merasa yang memahami aspirasi dan kepentingan rakyat,
Ketentuan
Tentang Hak Anggota Dewan Mengajukan RUU:
Secara normatif dalam konstitusi tidak ada perubahan.
Secara normatif dalam konstitusi tidak ada perubahan.
Penambahan
pasal baru ini, bagian dari penguatan komitmen di bidang legislasi. Dengan
Pasal 22A ini, telah dibentuk Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini menjadi acuan dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan, dan sekaligus membantu meningkatkan
kinerja Dewan dalam pembentukan Undang-Undang. Salah satu substansi
penting dari UU ini adalah pentingnya aspek perencanaan yang dikenal dengan
dokumen program legislasi, baik pada tingkat nasional yang disebut dengan
program legislasi nasional (prolegnas), maupun pada tingkat daerah yang dikenal
dengan program legislasi daerah (prolegda).
Penambahan Pasal Baru Ketentuan tentang Kedudukan DPR RI
Ketentuan
baru ini dapat dilihat sebagai bagian dari pemikiran bahwa mandat yang
diberikan oleh rakyat kepada wakilnya dapat ditarik kembali apabila wakil
rakyat tidak dapat melaksanakan amanat yang diterimanya. Untuk itu, perlu
diatur dalam undang-undang untuk menjamin kepastian, bagaimana proses, serta
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar bagi pemberhentian Anggota Dewan.
Pelaksanaan Fungsi DPR RI serta permasalahan yang dihadapi
Amademen UUD 1945 sebagaimana dijelaskan di atas menggambarkan bahwa besar kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki DPR RI. Oleh UUD 1945 DPR RI diberikan fungsi legislasi (pembentukan Undang-Undang) Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Penetapan APBN), dan Fungsi Pengawasan.
Kuatnya peran DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya sudah dimulai pada DPR periode 1999-2004 merupakan DPR yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, banyak desakan agar Pemilu segera dilaksanakan. DPR hasil Pemilu 1997 akhirnya hanya melaksanakan tugasnya selama 2 tahun, karena pada tahun 1999 diselenggarakan Pemilu yang dipercepat. Pemilu dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Pada Pemilu ini, kembali diterapkan sistem multipartai, sehingga Pemilu tahun 1999 tidak hanya diikuti oleh 3 kontestan melainkan oleh 48 Partai Politik.
Pada masa ini moment penting yang terjadi adalah kembali berakhirnya kekuasaan eksekutif akibat ketegangan antara legislatif dan eksekutif. Diawali dari kasus yang populer sebagai “Buloggate”. Presiden Abdurrahman Wahid akhirnya diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR yang kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
DPR hasil Pemilu periode berikutnya atau periode sekarang ini adalah DPR Hasil Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 Partai politik. Pada periode ini penerapan sistem ketatanegaraan yang baru sebagai implikasi perubahan UUD 1945 dimulai. Perubahan tersebut antara lain adalah dengan terbentuknya DPD dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
1) Fungsi Legislasi
Fungsi legislasi atau membentuk undang-undang haruslah dilihat sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, khususnya pembangunan materi hukum. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi legislasi, tidak saja terbatas pada aspek teknis dan prosedural yang kemudian mengejar jumlah undang-undang yang dihasilkan, tetapi fungsi tersebut haruslah diletakkan sebagai bagian dari subsistem pembentukan hukum nasional.
Dalam kerangka pemikiran demikian, maka pelaksanaan fungsi legislasi DPR merupakan implementasi dari konsep negara hukum (rechsstaat), yaitu suatu konsep yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Supremasi hukum berarti, hukum atau produk legislasi haruslah diakui dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sebagai pedoman berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Supremasi hukum tidak menghendaki adanya kesenjangan antara norma dan perilaku masyarakat. Supremasi hukum mensyaratkan hukum yang dihasilkan tidak saja memiliki kekuatan formal atau legitimasi formal (Formal Legitimacy), tetapi secara substansial juga rakyat tunduk dan taat pada aturan yang ada (Substantive/(Mora) Legitimacy).
Di samping itu, fungsi legislasi Dewan merupakan bagian dari konsep negara kesejahteraan (welfare state), yaitu suatu konsep negara yang dicirikan dengan besarnya campur tangan (tanggung jawab) negara atau pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat. Campur tangan negara, memasuki semua bidang kehidupan, yaitu sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Secara formal, campur tangan atau intervensi negara menciptakan kesejahteraan dilakukan melalui instrumen hukum atau peraturan perundang-undangan, sehingga konsep negara kesejahteraan dikenal juga dengan negara yang banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regulated state).
Legislasi atau pembentukan undang-undang merupakan proses perumusan kebijakan publik. Sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat pula dilihat sebagai suatu bentuk formal dari suatu kebijakan publik. Sebagai suatu kebijakan publik, maka substansi dari undang-undang memuat ketentuan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang terkait dengan materi yang diatur. Dalam hal ini, jelas peran yang dilakukan oleh DPR dan Anggota DPR adalah merumuskan kebijakan publik. Melalui kebijakan tersebut, DPR melakukan salah satu fungsi negara, yaitu mewujudkan distributive justice. Melalui kewenangan tersebut DPR dan Anggota DPR mengartikulasikan dan merumuskan berbagai kepentingan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari peraturan atau undang-undang yang dibuat.
Kerangka pemikiran yang demikian, mengharuskan adanya pemahaman yang memadai pada DPR dan khsusunya Anggota Dewan untuk melihat bahwa sebagai konsekuensi dari supremacy of law, ada keyakinan yang kuat bahwa hukum yang dihasilkan merupakan suatu instrumen yang memberikan kepastian mengenai arah pembangunan nasional.
Walaupun Pasal 20 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR, namun fungsi tersebut dilaksanakan bersama-sama dengan Presiden. Tidak ada RUU yang dapat disahkan menjadi Undang-undang tanpa ada persetujuan bersama. Pembahasan bersama menggambarkan paling kurang ada dua kepentingan dalam pembahasan RUU, yaitu kepentingan Pemerintah dan Kepentingan DPR. Artinya, para pihak melakukan fungsi “checks and balances” untuk mencapai suatu rumusan kepentingan bersama atau publik.
Bagi DPR peran “checks and balances” dalam pembentukan undang-undang sangatlah penting sebagai bagian dari pelaksanaan tugasnya sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, peran DPR dalam pembentukan undang-undang haruslah dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada konstituen atau rakyat pemilihnya.
Salah satu kebijakan strategis yang dilakukan oleh DPR adalah menyusun Program Legislasi Nasinonal. Program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009 disusun bersama dengan Pemerintah. Prolegnas merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Secara operasional, Prolegnas memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional untuk jangka waktu lima tahunan dan satu tahunan.
Peran dan tanggung jawab Dewan dan Anggota Dewan dalam penyusunan Program Legislasi Nasional sangat penting, karena Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa penyusunan Program Legislasi Nasional dikoordinasikan oleh DPR, khususnya alat kelengkapan Dewan yang secara khusus menangani fungsi legislasi, yaitu Badan Legislasi Dewan. Peran dan tanggung jawab ini mengarah kepada pengembangan Dewan sebagai pusat dari pembentukan hukum (law center).
Menyusun program legislasi nasional merupakan tanggung yang besar, karena sejak tahun 2005 tidak mengenal lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang menjadi acuan dalam penyusunan Program Legislasi Nasional. Oleh karena itu, dalam penyusunan Program Legislasi Nasional tahun 2005-2009 dan program legislasi tahunan, DPR harus merumuskan visi dan misi pembangunan hukum nasional secara keseluruhan sebagai dasar penentuan RUU dan prioritasnya, baik untuk tahunan maupun lima tahunan.
Kebijakan legislasi DPR yang tertuang dalam Prolegnas disusun berdasarkan kondisi obyektif bahwa pelaksanaan program pembangunan hukum tahun 2000-2004, masih jauh dari harapan dan rasa keadilan masyarakat, baik pada aspek pembangunan materi hukum, budaya hukum, maupun sarana dan prasarana hukum. Pada aspek materi hukum misalnya, masih ditemukan materi hukum yang saling tumpang tindih dan tidak konsisten, baik secara vertikal maupun horizontal, belum sepenuhnya menunjukkan komitmen dan karakter yang responsif terhadap masalah perlindungan Hak Asasi Manusia, masyarakat lemah dan marjinal, nilai-nilai keadilan, dan jender. Hal ini mungkin saja terjadi karena proses pembentukannya yang kurang partisipatif. Kelemahan pada materi dan sarana serta prasarana hukum berdampak pada kesadaran hukum masyarakat, yaitu rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aturan-aturan hukum dan lebih berbahaya lagi apabila terjadi kesenjangan antara norma-norma hukum dan perilaku masyarakat sebagaimana yang kita lihat selama ini. Kebijakan legislasi DPR didasarkan pada visi pembangunan hukum nasional, yaitu: terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mencapai visi sebagaimana dirumuskan di atas, program legislasi disusun dengan misi:
Pelaksanaan Fungsi DPR RI serta permasalahan yang dihadapi
Amademen UUD 1945 sebagaimana dijelaskan di atas menggambarkan bahwa besar kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki DPR RI. Oleh UUD 1945 DPR RI diberikan fungsi legislasi (pembentukan Undang-Undang) Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Penetapan APBN), dan Fungsi Pengawasan.
Kuatnya peran DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya sudah dimulai pada DPR periode 1999-2004 merupakan DPR yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, banyak desakan agar Pemilu segera dilaksanakan. DPR hasil Pemilu 1997 akhirnya hanya melaksanakan tugasnya selama 2 tahun, karena pada tahun 1999 diselenggarakan Pemilu yang dipercepat. Pemilu dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Pada Pemilu ini, kembali diterapkan sistem multipartai, sehingga Pemilu tahun 1999 tidak hanya diikuti oleh 3 kontestan melainkan oleh 48 Partai Politik.
Pada masa ini moment penting yang terjadi adalah kembali berakhirnya kekuasaan eksekutif akibat ketegangan antara legislatif dan eksekutif. Diawali dari kasus yang populer sebagai “Buloggate”. Presiden Abdurrahman Wahid akhirnya diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR yang kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
DPR hasil Pemilu periode berikutnya atau periode sekarang ini adalah DPR Hasil Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 Partai politik. Pada periode ini penerapan sistem ketatanegaraan yang baru sebagai implikasi perubahan UUD 1945 dimulai. Perubahan tersebut antara lain adalah dengan terbentuknya DPD dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
1) Fungsi Legislasi
Fungsi legislasi atau membentuk undang-undang haruslah dilihat sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, khususnya pembangunan materi hukum. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi legislasi, tidak saja terbatas pada aspek teknis dan prosedural yang kemudian mengejar jumlah undang-undang yang dihasilkan, tetapi fungsi tersebut haruslah diletakkan sebagai bagian dari subsistem pembentukan hukum nasional.
Dalam kerangka pemikiran demikian, maka pelaksanaan fungsi legislasi DPR merupakan implementasi dari konsep negara hukum (rechsstaat), yaitu suatu konsep yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Supremasi hukum berarti, hukum atau produk legislasi haruslah diakui dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sebagai pedoman berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Supremasi hukum tidak menghendaki adanya kesenjangan antara norma dan perilaku masyarakat. Supremasi hukum mensyaratkan hukum yang dihasilkan tidak saja memiliki kekuatan formal atau legitimasi formal (Formal Legitimacy), tetapi secara substansial juga rakyat tunduk dan taat pada aturan yang ada (Substantive/(Mora) Legitimacy).
Di samping itu, fungsi legislasi Dewan merupakan bagian dari konsep negara kesejahteraan (welfare state), yaitu suatu konsep negara yang dicirikan dengan besarnya campur tangan (tanggung jawab) negara atau pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat. Campur tangan negara, memasuki semua bidang kehidupan, yaitu sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Secara formal, campur tangan atau intervensi negara menciptakan kesejahteraan dilakukan melalui instrumen hukum atau peraturan perundang-undangan, sehingga konsep negara kesejahteraan dikenal juga dengan negara yang banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regulated state).
Legislasi atau pembentukan undang-undang merupakan proses perumusan kebijakan publik. Sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat pula dilihat sebagai suatu bentuk formal dari suatu kebijakan publik. Sebagai suatu kebijakan publik, maka substansi dari undang-undang memuat ketentuan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang terkait dengan materi yang diatur. Dalam hal ini, jelas peran yang dilakukan oleh DPR dan Anggota DPR adalah merumuskan kebijakan publik. Melalui kebijakan tersebut, DPR melakukan salah satu fungsi negara, yaitu mewujudkan distributive justice. Melalui kewenangan tersebut DPR dan Anggota DPR mengartikulasikan dan merumuskan berbagai kepentingan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari peraturan atau undang-undang yang dibuat.
Kerangka pemikiran yang demikian, mengharuskan adanya pemahaman yang memadai pada DPR dan khsusunya Anggota Dewan untuk melihat bahwa sebagai konsekuensi dari supremacy of law, ada keyakinan yang kuat bahwa hukum yang dihasilkan merupakan suatu instrumen yang memberikan kepastian mengenai arah pembangunan nasional.
Walaupun Pasal 20 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR, namun fungsi tersebut dilaksanakan bersama-sama dengan Presiden. Tidak ada RUU yang dapat disahkan menjadi Undang-undang tanpa ada persetujuan bersama. Pembahasan bersama menggambarkan paling kurang ada dua kepentingan dalam pembahasan RUU, yaitu kepentingan Pemerintah dan Kepentingan DPR. Artinya, para pihak melakukan fungsi “checks and balances” untuk mencapai suatu rumusan kepentingan bersama atau publik.
Bagi DPR peran “checks and balances” dalam pembentukan undang-undang sangatlah penting sebagai bagian dari pelaksanaan tugasnya sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, peran DPR dalam pembentukan undang-undang haruslah dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada konstituen atau rakyat pemilihnya.
Salah satu kebijakan strategis yang dilakukan oleh DPR adalah menyusun Program Legislasi Nasinonal. Program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009 disusun bersama dengan Pemerintah. Prolegnas merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Secara operasional, Prolegnas memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional untuk jangka waktu lima tahunan dan satu tahunan.
Peran dan tanggung jawab Dewan dan Anggota Dewan dalam penyusunan Program Legislasi Nasional sangat penting, karena Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa penyusunan Program Legislasi Nasional dikoordinasikan oleh DPR, khususnya alat kelengkapan Dewan yang secara khusus menangani fungsi legislasi, yaitu Badan Legislasi Dewan. Peran dan tanggung jawab ini mengarah kepada pengembangan Dewan sebagai pusat dari pembentukan hukum (law center).
Menyusun program legislasi nasional merupakan tanggung yang besar, karena sejak tahun 2005 tidak mengenal lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang menjadi acuan dalam penyusunan Program Legislasi Nasional. Oleh karena itu, dalam penyusunan Program Legislasi Nasional tahun 2005-2009 dan program legislasi tahunan, DPR harus merumuskan visi dan misi pembangunan hukum nasional secara keseluruhan sebagai dasar penentuan RUU dan prioritasnya, baik untuk tahunan maupun lima tahunan.
Kebijakan legislasi DPR yang tertuang dalam Prolegnas disusun berdasarkan kondisi obyektif bahwa pelaksanaan program pembangunan hukum tahun 2000-2004, masih jauh dari harapan dan rasa keadilan masyarakat, baik pada aspek pembangunan materi hukum, budaya hukum, maupun sarana dan prasarana hukum. Pada aspek materi hukum misalnya, masih ditemukan materi hukum yang saling tumpang tindih dan tidak konsisten, baik secara vertikal maupun horizontal, belum sepenuhnya menunjukkan komitmen dan karakter yang responsif terhadap masalah perlindungan Hak Asasi Manusia, masyarakat lemah dan marjinal, nilai-nilai keadilan, dan jender. Hal ini mungkin saja terjadi karena proses pembentukannya yang kurang partisipatif. Kelemahan pada materi dan sarana serta prasarana hukum berdampak pada kesadaran hukum masyarakat, yaitu rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aturan-aturan hukum dan lebih berbahaya lagi apabila terjadi kesenjangan antara norma-norma hukum dan perilaku masyarakat sebagaimana yang kita lihat selama ini. Kebijakan legislasi DPR didasarkan pada visi pembangunan hukum nasional, yaitu: terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mencapai visi sebagaimana dirumuskan di atas, program legislasi disusun dengan misi:
1. mewujudkan
materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap peraturan
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan
kebenaran, dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat;
2. mewujudkan
budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum;
3. mewujudkan
aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral, dan berintegritas
tinggi; dan
4. mewujudkan
lembaga hukum yang kuat, terintegrasi dan berwibawa.
Berdasarkan visi dan misi yang digambarkan di atas,
maka arah kebijakan legislasi DPR adalah:
1. membentuk
peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah,
sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, sebagai
pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. mengganti
peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan
perundang-undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
jaman;
3. mempercepat
proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam proses pembahasan
dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh undang-undang;
4. membentuk
peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat reformasi, mendukung
pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi
kolusi dan nepotisme dan kejahatan transnasional;
5. meratifikasi
secara selektif konvensi internasional yang diperlukan untuk mendukung
pembangunan ekonomi, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia serta
pelestarian lingkungan hidup;
6. membentuk
peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
kemajuan jaman;
7. memberikan
landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas profesional dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender;
dan
8. menjadikan
hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan di segala bidang yang mengabdi
kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara guna mewujudkan prinsip
keseimbangan antara ketertiban, legitimasi dan keadilan.
Berdasarkan kerangka, visi, misi serta arah kebijakan
Prolegnas, DPR dan Pemerintah menetapkan 284 RUU yang menjadi prioritas tahun
2005-2009. Dari jumlah tersebut, 55 RUU ditetapkan menjadi prioritas tahun
pertama. Namun, daftar RUU tersebut setiap tahun dapat dievaluasi,
diverifikasi, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika dan perkembangan
masyarakat dan prioritas yang tidak terlaksana tahun sebelumnya dijadikan
prioritas tahun berikutnya.
Penentuan skala prioritas RUU ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan yakni:
Penentuan skala prioritas RUU ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan yakni:
1. merupakan
perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. merupakan
perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3. yang terkait
dengan pelaksanaan undang-undang lain;
4. mendorong
percepatan reformasi;
5. warisan
Prolegnas 2000-2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini;
6. menyangkut
revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan dengan
undang-undang lainnya;
7. ratifikasi
terhadap perjanjian internasional;
8. berorientasi
pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan memperhatikan
prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender;
9. mendukung
pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
10. secara
langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi
kesejahteraan sosial masyarakat.
Pada saat
menjelang akhir dari masa periode DPR RI 2004-2009 ini, dari 284 RUU yang
menjadi prioritas selama 5 tahun ini, DPR RI dan Pemerintah baru menyelesaikan
159 RUU. Namun, tetap diharapkan agar sampai pada akhir masa baktinya dapat
menyelesaikan kurang lebih 180 RUU, karena pada saat ini Dewan sedang membahas
30 RUU.
Fungsi Penetapan APBN
Peran DPR dan Anggota DPR dalam penetapan APBN sangatlah penting, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan instrumen kunci kebijakan ekonomi negara, yang perlu keterlibatan parlemen dalam penetapannya. Penetapan APBN tidak saja menyangkut masalah teknis, namun sarat dengan muatan kebijakan publik. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR, bahkan partai politik berkepentingan untuk memperjuangkan aspirasi kebijakan ekonominya dalam APBN.
Pentingnya peran parlemen dalam penetapan APBN paling tidak didasarkan pada beberapa argumentasi, yaitu perlunya mekanisme “checks and balances” dalam hubungan kerja dan kewenangan antara Pemerintah dan DPR (Parlemen). Mekanisme ini penting sebagai suatu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Pemikiran kedua, adalah aspek “keterbukaan atau transparansi”. Mekanisme perumusan kebijakan Pemerintah biasanya lebih tertutup dibandingkan dengan mekanisme yang berlangsung di Parlemen. Oleh karena itu, peran DPR atau parlemen dalam penetapan APBN tidak lain dimaksudkan pula untuk menciptakan keterbukaan dan transparansi dalam perumusan kebijakan penting bagi warga negara. Pembicaraan yang secara terbuka dilaksanakan di parlemen membuka peluang partisipasi publik atau masyarakat dalam mengkritisi progam serta kebijakan yang tertuang dalam APBN. Misalnya, ketika ada rancangan untuk menaikan tunjangan DPR dan belanja Presiden dan Wakil Presiden, rakyat atau masyarakat langsung memberikan reaksi, karena proses tersebut dilaksanakan.
Fungsi Pengawasan
Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR sebagai salah satu pilar demokrasi, telah banyak menjalankan perannya secara kritis menyoroti berbagai perilaku dan kebijakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal ini secara keseluruhan dijalankan dalam kerangka menciptakan sistem politik yang bersifat checks and balances, terutama berkenaan dengan hubungan badan legislatif dan eksekutif. Terkait dengan pengawasan pemerintah, pada dasarnya apa yang dilakukan DPR bukanlah untuk menjatuhkan pemerintahan tetapi lebih pada untuk mendalami kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Dalam penggunaan hak angket dalam kasus penyelenggaraan haji misalnya, pengiriman jamaah haji Indonesia adalah yang terbesar di seluruh dunia, tetapi amat disayangkan selalu saja ada masalah dalam urusan “ibadah” ini, bahkan sampai ada yang terlunta-lunta di Tanah Suci. Makanya atas persoalan ini, DPR membentuk hak angket untuk melakukan penyelidikan. Hak angket bukan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi untuk lebih mendalami mengapa sampai hal ini terjadi, dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Persoalannya, karena pada saat ini pengiriman haji bukan lagi urusan swasta, melainkan urusan pemerintah. Tidak pernah terpikir bagi kami untuk tidak berani melakukan pengawasan tersebut, karena maksudnya bukan untuk menggulingkan pemerintah tetapi lebih kepada mengoreksi sehingga bisa sesuai dengan aturan dan aspirasi masyarakat.
Pemerintah akan senantiasa terawasi sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan mampu dicegah dan dihindarkan. Pemerintah tidak dapat mengambil keputusan secara sepihak atas kebijakan yang diambilnya berkenaan dengan dan berpengaruh bagi hajat hidup orang banyak. Di samping itu sebaliknya bagi pemerintah, adanya pengawasan yang efektif dari DPR akan bermakna positif untuk meningkatkan kinerja birokasi pemerintahan itu sendiri, yaitu dalam konteks memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, sebagaimana masih menjadi harapan publik selama ini. Pengawasan yang dijalankan oleh DPR melalui alat-alat kelengkapan dan mekanisme kerja yang dimiliki sama sekali bukan untuk mencari-cari kesalahan pemerintah, tetapi lebih merupakan suatu pertanggungjawaban posisi DPR sebagai lembaga politik perwakilan rakyat.
Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD memberikan batasan ruang lingkup pengawasan DPR, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta kebijakan pemerintah. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD; membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat; menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang.
Di samping itu, pengawasan DPR dikaitkan pula dengan kegiatan membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Secara singkat dan umum, pengawasan yang dilakukan oleh parlemen, termasuk DPR bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama dari lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan. Dalam konteks lembaga politik, fungsi pengawasan yang dijalankan DPR merupakan bentuk pengawasan politik yang bersifat strategis dan bukan administratif. Hal inilah yang membedakan fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan dan publik lainnya. Fungsi pengawasan parlemen lebih bersifat politis strategis menyangkut pencapaian tujuan pemerintahan dan pembangunan. Pengawasan juga dapat berlangsung pada berbagai tingkatan kebijakan, program, proyek maupun kasus yang ada sepanjang memiliki arti penting secara politik strategis.
Pengawasan parlemen diperlukan berdasarkan beberapa argumentasi atau pemikiran, yaitu:
Fungsi Penetapan APBN
Peran DPR dan Anggota DPR dalam penetapan APBN sangatlah penting, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan instrumen kunci kebijakan ekonomi negara, yang perlu keterlibatan parlemen dalam penetapannya. Penetapan APBN tidak saja menyangkut masalah teknis, namun sarat dengan muatan kebijakan publik. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR, bahkan partai politik berkepentingan untuk memperjuangkan aspirasi kebijakan ekonominya dalam APBN.
Pentingnya peran parlemen dalam penetapan APBN paling tidak didasarkan pada beberapa argumentasi, yaitu perlunya mekanisme “checks and balances” dalam hubungan kerja dan kewenangan antara Pemerintah dan DPR (Parlemen). Mekanisme ini penting sebagai suatu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Pemikiran kedua, adalah aspek “keterbukaan atau transparansi”. Mekanisme perumusan kebijakan Pemerintah biasanya lebih tertutup dibandingkan dengan mekanisme yang berlangsung di Parlemen. Oleh karena itu, peran DPR atau parlemen dalam penetapan APBN tidak lain dimaksudkan pula untuk menciptakan keterbukaan dan transparansi dalam perumusan kebijakan penting bagi warga negara. Pembicaraan yang secara terbuka dilaksanakan di parlemen membuka peluang partisipasi publik atau masyarakat dalam mengkritisi progam serta kebijakan yang tertuang dalam APBN. Misalnya, ketika ada rancangan untuk menaikan tunjangan DPR dan belanja Presiden dan Wakil Presiden, rakyat atau masyarakat langsung memberikan reaksi, karena proses tersebut dilaksanakan.
Fungsi Pengawasan
Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR sebagai salah satu pilar demokrasi, telah banyak menjalankan perannya secara kritis menyoroti berbagai perilaku dan kebijakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal ini secara keseluruhan dijalankan dalam kerangka menciptakan sistem politik yang bersifat checks and balances, terutama berkenaan dengan hubungan badan legislatif dan eksekutif. Terkait dengan pengawasan pemerintah, pada dasarnya apa yang dilakukan DPR bukanlah untuk menjatuhkan pemerintahan tetapi lebih pada untuk mendalami kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Dalam penggunaan hak angket dalam kasus penyelenggaraan haji misalnya, pengiriman jamaah haji Indonesia adalah yang terbesar di seluruh dunia, tetapi amat disayangkan selalu saja ada masalah dalam urusan “ibadah” ini, bahkan sampai ada yang terlunta-lunta di Tanah Suci. Makanya atas persoalan ini, DPR membentuk hak angket untuk melakukan penyelidikan. Hak angket bukan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi untuk lebih mendalami mengapa sampai hal ini terjadi, dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Persoalannya, karena pada saat ini pengiriman haji bukan lagi urusan swasta, melainkan urusan pemerintah. Tidak pernah terpikir bagi kami untuk tidak berani melakukan pengawasan tersebut, karena maksudnya bukan untuk menggulingkan pemerintah tetapi lebih kepada mengoreksi sehingga bisa sesuai dengan aturan dan aspirasi masyarakat.
Pemerintah akan senantiasa terawasi sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan mampu dicegah dan dihindarkan. Pemerintah tidak dapat mengambil keputusan secara sepihak atas kebijakan yang diambilnya berkenaan dengan dan berpengaruh bagi hajat hidup orang banyak. Di samping itu sebaliknya bagi pemerintah, adanya pengawasan yang efektif dari DPR akan bermakna positif untuk meningkatkan kinerja birokasi pemerintahan itu sendiri, yaitu dalam konteks memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, sebagaimana masih menjadi harapan publik selama ini. Pengawasan yang dijalankan oleh DPR melalui alat-alat kelengkapan dan mekanisme kerja yang dimiliki sama sekali bukan untuk mencari-cari kesalahan pemerintah, tetapi lebih merupakan suatu pertanggungjawaban posisi DPR sebagai lembaga politik perwakilan rakyat.
Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD memberikan batasan ruang lingkup pengawasan DPR, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta kebijakan pemerintah. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD; membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat; menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang.
Di samping itu, pengawasan DPR dikaitkan pula dengan kegiatan membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Secara singkat dan umum, pengawasan yang dilakukan oleh parlemen, termasuk DPR bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama dari lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan. Dalam konteks lembaga politik, fungsi pengawasan yang dijalankan DPR merupakan bentuk pengawasan politik yang bersifat strategis dan bukan administratif. Hal inilah yang membedakan fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan dan publik lainnya. Fungsi pengawasan parlemen lebih bersifat politis strategis menyangkut pencapaian tujuan pemerintahan dan pembangunan. Pengawasan juga dapat berlangsung pada berbagai tingkatan kebijakan, program, proyek maupun kasus yang ada sepanjang memiliki arti penting secara politik strategis.
Pengawasan parlemen diperlukan berdasarkan beberapa argumentasi atau pemikiran, yaitu:
1.
Parlemen (DPR) merupakan representasi rakyat
dalam menilai dan mengawasi kinerja pemerintah dalam mengelola
keuangan negara dan melaksanakan undang-undang, kebijakan
pemerintah, dan berbagai kebijakan publik lain secara konsisten.
2.
Pengawasan mengaktualisasi pelaksanaan etika
tata pemerintahan yang baik dan demokratis (good governance).
3.
Pengawasan dapat meredam “penyakit” KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme)di kalangan pemerintah, termasuk berdampak pada DPR
sendiri.
4.
Pengawasan memungkinkan terbangunnya hubungan timbal
balik (checks and balances) antara lembaga legislatif, eksekutif dan masyarakat
sipil.
Pengawasan
DPR dilakukan melalui beberapa mekanisme, yaitu Rapat Kerja, Rapat
Dengar Pendapat, Rapat Dengar Pendapat Umum, dan kunjungan kerja. Di samping
itu, pengawasan dilakukan melalui penggunaan hak-hak DPR, antara
lain: hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan/menganjurkan, Memberikan
Persetujuan, Memberikan Pertimbangan, dan Memberikan Pendapat.
Permasalahan dan Hambatan Pelaksanaan Fungsi Dewan
Amandemen terhadap UUD 1945 yang memberikan kewenangan yang luas kepada DPR RI tidak berarti persoalan yang dihadapi oleh lembaga legislatif dianggap sudah selesai. Bahkan boleh dikatakan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan langkah awal dari upaya mewujudkan kualitas demokrasi yang memiliki korelasi positif dengan upaya kesejahateraan rakyat dengan kehadiran lembaga perwakilan rakyat. DPR RI sendiri merasakan berbagai hambatan dan besarnya sorotan masyarakat terhadap kualitas kinerja Dewan. Untuk merespons berbagai sorotan tersebut, pada tahun 2007 DPR membentuk tim Kinerja Dewan yang pertama-tama melakukan evaluasi terhadap kinerja dan menyusun rekomendasi untuk perbaikan kinerja tersebut.
Secara khusus kondisi kinerja pada tiga bidang fungsi Dewan yang berhasil diidentifikasi adalah:
Bidang legislasi:
Permasalahan dan Hambatan Pelaksanaan Fungsi Dewan
Amandemen terhadap UUD 1945 yang memberikan kewenangan yang luas kepada DPR RI tidak berarti persoalan yang dihadapi oleh lembaga legislatif dianggap sudah selesai. Bahkan boleh dikatakan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan langkah awal dari upaya mewujudkan kualitas demokrasi yang memiliki korelasi positif dengan upaya kesejahateraan rakyat dengan kehadiran lembaga perwakilan rakyat. DPR RI sendiri merasakan berbagai hambatan dan besarnya sorotan masyarakat terhadap kualitas kinerja Dewan. Untuk merespons berbagai sorotan tersebut, pada tahun 2007 DPR membentuk tim Kinerja Dewan yang pertama-tama melakukan evaluasi terhadap kinerja dan menyusun rekomendasi untuk perbaikan kinerja tersebut.
Secara khusus kondisi kinerja pada tiga bidang fungsi Dewan yang berhasil diidentifikasi adalah:
Bidang legislasi:
5.
Kualitas UU yang dihasilkan belum memadai, sehingga
kurang memberi manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat.
6. Target
jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam prioritas tahunan Prolegnas
belum dapat terpenuhi,
7. Proses
pembahasan RUU yang kurang transparan, sehingga sulit diakses publik.
Bidang Pengawasan:
1.
Rendahnya efektivitas pengawasan melalui rapat-rapat.
2. Aspirasi
masyarakat/konstituen pada saat Anggota melakukan pengawasan ke daerah tertentu
(kunjungan kerja) seringkali tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
3. DPR-RI belum
efektif menjalankan tugas dan fungsi checks and balances secara terbuka di DPR.
Bidang
Penetapan APBN
1.
APBN belum menjawab kebutuhan masyarakat.
2.
Mekanisme penyusunan APBN belum efektif dan banyak
Anggota DPR RI .
3. Banyak
Anggota Dewan yang belum memahami siklus dan mekanisme penyusunan APBN.
4. Pembahasan
tindak lanjut hasil pemeriksanaan BPK oleh Komisi dan alat kelengkapan DPR-RI
lainnya kurang efektif.
Kondisi
kinerja Dewan sebagaimana digambarkan di atas berkaitan dengan beberapa
permasalahan yang dihadapi oleh DPR RI 2004-2009, yaitu:
1.
DPR periode ini berada dalam kondisi transisi sistem
ketatanegaraan, di mana lembaga-lembaga baru yang diamanatkan oleh perubahan
UUD 1945, seperti DPD, baru terbentuk. Dengan demikian hubungan tata kerja
antar kedua lembaga tersebut, masih dalam tahap mencari bentuk yang
ideal.
2. Di dalam
satu Tahun Sidang, Dewan harus membagi diri dengan pelaksanaan fungsi yang
lain, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Pada tahun pertama yang
sekaligus merupakan masa peralihan antara Presiden lama dan Presiden baru,
permasalahan perubahan anggaran negara cukup menyita banyak energi dan
perhatian para anggota dewan.
3. Masalah
anggaran seringkali menjadi hambatan. Proses pembentukan sebuah undang-undang
harus dipahami sebagai satu kesatuan kegiatan yang diawali dari sebuah
penelitian atau pengkajian. Pembentukan undang-undang tidak dapat diartikan
hanya pada saat pembahasan RUU di DPR. Dengan demikian, secara sistematis
nantinya diharapkan ketika sebuah RUU telah disiapkan draft dan naskah
akademisnya maka, RUU tersebut sudah dapat segera dibahas. Walaupun, setelah
melalui perjuangan untuk meyakinkan Pemerintah, pada tahun-tahun terakhir
anggaran untuk pembahasan RUU ditingkatkan.
4. Supporting
System yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja dewan di bidang legislasi,
sampai saat ini belum tertata dengan baik. Menjelang akhir masa bakti, yang
pada tahun 2008 ini, DPR memperkuat sistem pendukung dengan merekrut 750 (tujuh
ratus lima puluh tenaga ahli) untuk memperkuat fraksi dan alat-alat kelengkapan
Dewan dan masing-masing Anggota Dewan. Formulasi penguatan unit pendukung ini
diharapkan terakomodasi dalam revisi Undang-Undang tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPD antara lain adanya pemikiran untuk membentuk
lembaga khusus pendukung keahlian DPR RI yang terpisah dari Sekretariat
Jenderal DPR RI. Dengan demikian, Sekretariat Jenderal akan menfokuskan diri
pada dukungan teknis dan administratif.
-
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori
dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh: A. Rahman Zainuddin,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
-
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara,
(edisi revisi), cetakan keempat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
-
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, 2002)
-
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan keenambelas,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995).
-
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1985).
-
A.S.S Tambunan, Fungsi DPR-RI Menurut UUD 1945, Suatu Studi
Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum
Militer, 1998).
-
Max Boboy, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan
Tatanegara, (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 1994).
-
David Held, Models of Democracy, Second Edition,
Polity Press 1997
Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat DPR GR, 1970
Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat DPR GR, 1970
-
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Reformasi
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan
Kinerja DPR RI, 2006.
-
Keputusan DPR RI No. 01/DPR RI/III/2004-2005 tentang
Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional 2005-2009.
5. Hubungan
antar lembaga-lembaga menurut UUD NRI 1945
Hubungan yang bersifat Fungsional :
-
Hubungan antara DPR/DPD dengan
Presiden dalam membuat UU dan APBN, juga untuk menyampaikan usul, pendapat, serta
imunitas
-
Hubungan antara DPR dengan DPD
dalam membuat peraturan atau kebijakan yang berhubungan dengan otonomi daerah
-
Hubungan antara KY, DPR, dan
Presiden dalam pengangkatan hakim (dalam konteks memberikan rekomendasi)
-
BPK dengan lembaga negara lain (
terutama Presiden dan Menteri-menteri) dalam penyelenggaraan keuangan
lembaga-lembaga tersebut
-
KPU dengan Pemerintah dalam
penyelenggaraan Pemilu
-
Komisi Hukum Nasional (KHN) dengan
Presiden untuk memberikan pendapat tentang kebijakan hukum dan masalah-masalah
hukum serta membantu Presiden sebagai penitia pengarah dalam mendesain
pembaruan hukum
-
KPK dengan Kepolisian dan
Kejaksaan Agung dalam melakukan penyelidikan atas adanya dugaan korupsi
Hubungan yang bersifat Pengawasan :
-
Hubungan antara Presiden dengan DPR dalam melaksanakan
pemerintahan
-
Hubungan antara DPD dengan Pemerintah Pusat dan
Daerah, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah
-
MA dengan Presiden, untuk menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
-
MK dengan DPR/DPD dan Presiden ( sebagai pembentuk UU
), untuk menguji konstitusionalitas UU
-
KPK dengan Pemerintah
-
Komisi Ombudsman Nasional dengan Pemerintah dan
Aparatur Pemerintah, Aparat Lembaga Negara serta lembaga penegak hukum dan
peradilan, dalam pelaksanaan pelayanan umum agar sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik ( good governance)
Hubungan yang berkaitan dengan Penyelesaian
Sengketa :
-
MK dengan lembaga-lembaga negara lain, untuk
menyelesaiakn sengketa kewenangan antar lembaga Negara
-
MK dengan penyelenggara pemilu untuk menyelesaikan
perselisihan hasil pemilu
Hubungan yang bersifat
Pelaporan atau Pertanggungjawaban
-
DPR/DPD dalam lembaga MPR dengan Presiden
-
DPR dengan komisi-komisi negara seperti Komnas HAM,
Komisi Ombudsman Nasional, KPK, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
-
Presiden dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
6.
Demokrasi pancasila
Demokrasi pancasila adalah demokrasi asli bangsa Indonesia yaitu musyawarah
mufakat yang ditambah atau dipadukan dengan demokrasi barat yang berupa trias
politika.
Demokrasi pancasila adalah demokrasi yang
mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi .dalam
doktrin Manipol USDEK. Disebut pula sebagai demokrasi terpimpin
merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi. Kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan
komando Bapak Pembangunan arah
rencana pembangunan dari pada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau
pengambilan keputusan, terutama
dalam lembaga-lembaga negara.
Prinsip
dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara
universal.
Ciri
demokrasi Pancasila :
-
adanya peran-peran kelompok kepentingan
-
Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan
berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional
dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan
penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar
1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya
harus sesuai dengan UUD 1945.
Prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai
berikut :
2. Pengambilan
keputusan atas dasar musyawarah
3. Peradilan
yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan
badan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR atau
lainnya
4. adanya partai
politik dan organisasi
sosial politik karena berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat
6. Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1
ayat 2 UUD 1945)
8. Pelaksanaan
kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun
orang lain
10. Pemerintahan
berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan :
a. Indonesia ialah
negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtstaat)
b.
Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan tidak terbatas)
c. Kekuasaan yang
tertinggi berada di tangan rakyat.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi pancasila terdapat
tujuh sendi pokok yang menjadi landasan, yaitu :
1.
Indonesia ialah
negara yang berdkasarkan hukum.Seluruh
tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Persamaan kedudukan dalam hukum
bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
Pemerintah
berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih
menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau
dibatasi oleh ketentuan konstitusi.
3.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang
kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti
telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa
(kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR
mempunyai tugas pokok, yaitu :
- Menetapkan UUD
- Menetapkan GBHN
- Memilih dan mengangkat presiden dan wakil
presiden
Wewenang
MPR, yaitu:
-
Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan
oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden
-
Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris
mengenai pelaksanaan GBHN
-
Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden
-
Mencabut mandat dan
memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris
sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
4.
Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang
tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah
MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain
diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis.
Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5.
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi
pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR
harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus
mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislatif ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di
bidang pengawasan meliputi :
-
Hak tanya/bertanya kepada pemerintah
-
Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau
keterangan kepada pemerintah
-
Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah
-
Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal
6.
Menteri Negara
adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden
memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri
negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden.
Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah
kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan
Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai
tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya
berada di bawah koordinasi presiden.
Kepala Negara
tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya
kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua
anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.
Adapun
fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut
:
-
Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan
bernegara
-
Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang
mempergunakan sistem konstitusional
-
Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada
Pancasila
-
Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4
dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Dengan demikian berarti
demokrasi Pancasila merupakan demokrasi deliberatif.
Dalam demokrasi deliberatif
terdapat
tiga prinsip utama :
1.
prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil
keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang
terkait.
2.
prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan
pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan
argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
3. prinsip
kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki
peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran,
pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan
berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat Indonesia yang
heterogen. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan
dipaksakan. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya
konflik kepentingan. Maka diperlukan
suatu proses yang fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas sebuah kebijakan
publik demi suatu ketertiban sosial dan stabilitas nasional.
Demokrasi
Pancasila dalam Beberapa Bidang :
Bidang ekonomi
Demokrasi
Pancasila menuntut rakyat
menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi.Pemerintahan memberikan peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi
rakyat dengan menjamin tegaknya prinsip keadilan sosial sehingga segala bentuk hegemoni kekayaan alam atau sumber-sumber ekonomi harus ditolak
agar semua rakyat memiliki kesempatan yang sama dalam penggunaan kekayaan
negara.dalam implikasi pernah diwujudkan dalam Program
ekonomi banteng tahun 1950, Sumitro plan tahun 1951, Rencana lima
tahun pertama tahun 1955 s.d. tahun 1960, Rencana delapan tahun dan
terakhir dalam Repelita kesemuanya
malah menyuburkan korupsi dan merusaknya sarana produksi. Hal ini ditujukan
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945
dan sila ke-5 Pancasila . Maka secara kongkrit, rakyat berperan melalui
wakil-wakil rakyat di parlemen dalam
menentukan kebijakan ekonomi.
Bidang kebudayaan nasional
Demokrasi
Pancasila menjamin adanya fasilitasi dari pihak pemerintah agar keunikan dan
kemajemukan budaya Indonesia
dapat tetap dipertahankan dan ditumbuhkembangkan sehingga kekayaan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dapat terpelihara dengan baik. Terdapat penolakan
terhadap uniformitas budaya dan pemerintah menciptakan peluang bagi
berkembangnya budaya lokal sehingga identitas suatu komunitas mendapat
pengakuan dan penghargaan.